Rabu, 22 September 2010

Apabila hendak menyalin teks berikut, mohon sertakan dengan SUMBERNYA.

Seorang anak belajar angka-angka. TEMPO/Nickmatulhud
Jakarta - Saat masih duduk di awal sekolah dasar pada pertengahan 1990-an, Agis Aira mengalami kesulitan dalam pelajaran matematika dan membaca. Jika menggambar kubus, hasilnya malah trapesium.
Agis juga sering salah menyalin pelajaran di papan tulis walau duduk di depan. Dia tak bisa membedakan huruf "d" dengan huruf "b". Dia pun kesulitan menyatakan pendapat, tak bisa bergaul, dan malu bertanya kepada guru.
Selepas pulang sekolah, orang tuanya sering menanyakannya soal pelajaran berhitung, misalnya perkalian. Namun dia tak bisa menjawabnya. Orang tua Agis lalu mencari tahu soal kondisi anaknya itu. Ternyata Agis menyandang disleksia.
Disleksia adalah kondisi ketika seseorang mengalami kesulitan dalam berbahasa. Penyandang disleksia tidak hanya mengalami kesulitan dalam membaca, tapi juga dalam hal mengeja, menulis, dan beberapa aspek bahasa yang lain.
Menurut Ketua Harian Asosiasi Disleksia Indonesia dr Kristiantini Dewi, SpA, penyebab disleksia adalah gangguan pada otak kiri, yang biasanya digunakan untuk membaca.
Disleksia dibedakan menjadi dua, yaitu developmental dan acquired.
Pada disleksia developmental, 70 persennya disebabkan oleh keturunan. "Juga disebabkan oleh kondisi saraf (neurologis) dan disandang seumur hidup," katanya dalam seminar di Jakarta, Sabtu lalu. Penyandang disleksia umumnya mengalami masalah dalam membaca, mengeja, dan menulis.
Itu tak hanya berhenti pada tiga hal di atas. Masalah lain yang menguntit pengidap disleksia adalah susah konsentrasi, daya ingat yang pendek, kesulitan mengurutkan huruf A-Z dan mengorganisasi, serta cenderung tak teratur.
Tanda-tanda disleksia bisa dideteksi sejak dini. Pada usia prasekolah, pengidap disleksia biasanya kidal atau tak mahir jika cuma memakai satu tangan, bingung atau sering tertukar kanan dan kiri. Selain itu, mereka suka tergesa-gesa, miskin kosakata, atau kesulitan memilih terminologi atau nama yang tepat. Misalnya, "Saya tak mau berenang karena kolamnya tebal," (baca: dalam) atau "Kemarin saya diberi kue sama si itu."
Pada usia 5-8 tahun, hal itu ditandai dengan kesulitan mempelajari huruf dan bunyinya, menggabungkan huruf menjadi kata, membaca, dan memegang alat tulis. "Pada umur 7 tahun seharusnya bisa menguasai huruf. Jika pada umur 8-9 tahun masih tak bisa, dimungkinkan disleksia," kata dia.
Tanda lain adalah kebingungan soal konsep ruang dan waktu serta kesulitan mencerna perintah yang disampaikan secara verbal, cepat, dan berurutan. Namun, yang patut dipahami adalah disleksia bukan karena si penyandang bodoh. Beberapa penyandang disleksia justru orang yang brilian. Menurut dr Purboyo Solek, SpA(K), yang patut ketahui adalah intelligence quotient (IQ) si pengidap.
Normal, di bawah rata-rata, atau justru superior. Albert Einstein dan Presiden Amerika Serikat ke-43 George Walker Bush contoh penyandang disleksia. Disleksia juga tak disebabkan oleh latar belakang sosial-ekonomi yang buruk, gangguan penglihatan atau pendengaran, atau tak ada motivasi belajar.
"Jangan labeli mereka sebagai anak bodoh," kata dia. Pasalnya, jika diberi label sebagai anak bodoh, mereka tak bisa tampil sesuai dengan IQ-nya dan sia-sia. Jika diketahui IQ-nya, akan diketahui apakah seseorang memang mengidap disleksia atau mengalami kesulitan belajar.
Selain itu, perlu diperhatikan kelainan yang biasanya menyertai disleksia, yakni attention-deficit hyperactivity disorder, autisme, demam bengong (epilepsi tipe lena), keterbelakangan mental, dan kecerdasan di atas rata-rata. "Jika ada kelainan lain, perlu diberi terapi multidisiplin," kata Purboyo.
Penyandang disleksia juga punya sisi positif. Biasanya mereka memiliki kemampuan di bidang lain yang baik, bahkan melebihi rata-rata. "Otak pengidap disleksia membaca dengan cara yang tak sama dengan mereka yang tak mengidap disleksia," kata Kristiantini. Biasanya mereka memiliki keunggulan di bidang visual-spasial, kesadaran sosial, penyelesaian masalah, geometri, atau komputer.
Disleksia bisa dipelajari dan ditangani. Misalnya, Agis. Pada 1997, orang tuanya memindahkan dia dari SD biasa ke SD Khusus Pantara. "Saya merasa lebih nyaman dengan guru dan lingkungan di SD itu," katanya.
Di SD khusus itu, jumlah siswanya hanya delapan orang dengan dua guru. Sedangkan di SD biasa, jumlah siswanya 40 orang dengan satu guru. "Saya akhirnya bisa lulus SD," tuturnya. Sekolahnya berlanjut ke SMP di Cimahi. Dari 44 siswa, dia mendapat ranking ke-44. "Syukur masih dapat ranking, daripada tak dapat ranking."
Kalau kesulitan mengurutkan A-Z, Agis menjuarai lomba mengetik 10 jari kala SMA. Gadis itu kini duduk di semester VII di bidang pemrograman peranti lunak di sebuah perguruan tinggi swasta di Bandung. Yang tak bisa dimungkiri, Albert Einstein adalah orang jenius dengan teori relativitasnya, walau mengidap disleksia.
Nur Rochmi(TEMPO Interaktif)

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Terima Kasih Banyak Sudah Berpartisipasi Mengkik Iklan Dibawah Ini!

Berkah Herbal Banner 11